Legal-positivism memandang perlu untuk memisahkan secara
tegas antara hukum dan moral. Hukum. bercirikan rasionalistik,
teknosentrik, dan universal. Dalam kaca mata positivisme tidak
ada hukum kecuali perintah penguasa, bahkan aliran positivis
legalisme menganggap bahwa hukum identik dengan undangundang.
Hukum dipahami dalam perspektif yang rasional dan
logik. Keadilan hukum bersifat formal dan prosedural.
Dalam positivisme, dimensi spiritual dengan segala
perspektifnya seperti agama, etika dan moralistas diletakkan
sebagai bagian yang terpisah dari satu kesatuan pembangunan
peradaban modern. Hukum modern dalam perkembangannya
telah kehilangan unsur yang esensial, yakni nilai-nilai spiritual.
Paham hukum tersebut masih membelenggu pola pikir
kebanyakan pakar dan praktisi hukum di Indonesia. Sebagai
contoh terlihat jelas pada: (1) Vonis bebas sama sekali terhadap
Adlin Lis (pembalak hutan) oleh Pengadilan Negeri Medan dan
(2) Vonis Majelis Hakim pada tingkat kasasi terhadap
Pollycarpus yang menyatakan Pollycarpus tidak terbukti
melakukan pembunuhan terhadap Munir sehingga hanya
dipersalahkan memalsukan surat.
Paham hukum seperti tersebut di atas sangat berbeda dengan
paradigma hukum sosiologis yang berangkat dari asumsi bahwa
hukum adalah sebuah gejala sosial yang terletak dalam ruang
sosial dan dengan itu tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial.
Hukum bukanlah entitas yang sama sekali terpisah dan bukan
merupakan bagian dari elemen sosial yang lain. Hukum tidak
akan mungkin bekerja dengan mengandalkan kemampuannya
sendiri sekalipun ia dilengkapi dengan perangkat asas, norma
dan institusi.
Berdasarkan paradigma hukum seperti itulah Majelis Hakim
Mahkamah Agung dalam kasus Peninjauan Kembali (PK)
terhadap kasus terbunuhnya Munir, berkeyakinan bahwa
Pollycarpuslah yang membunuh aktivis HAM, Munir..
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar